Malaka—Orang Malaka khususnya, dan sebagian besar masyarakat di daratan Pulau Timor sudah pasti tahu apa itu sirih-pinang. Sirih Pinang, bagi orang Timor (Malaka, Belu, TTU, TTS, dan Kupang), bahkan masyarakat di sebagian besar daerah di Indonesia, merupakan simbol persatuan, simbol cinta, dan ‘alat/sarana’ komunikasi.
Mengunyah sirih-pinang bagi orang Timor, bukan hal asing. Apalagi bagi kaum lanjut usia (lansia). Selain itu, sirih-pinang sudah menjadi tradisi bagi orang-orang Timor; sebuah warisan dari leluhur yang masih kuat-mengakar hingga saat ini.
Baca Juga:
Dalam setiap hajatan: pesta adat, pasti ada sirih pinang. Tidak hanya itu, dalam urusan politik seperti saat ini (momen pilkada), sirih pinang menjadi alat paling ampuh dalam membuka ruang komunikasi di antara masyarakat dengan politisi.
Interaksi berjalan harmonis ketika sirih-pinang mulai memerah di bibir. Ada canda dan tawa, ada keterbukaan, saling sapa tanpa sekat, di situ, kekeluargaan pun kuat terwujud dan terajut.
Dalam konteks politik, sirih-pinang menjadi alat membuka komunikasi dari hati ke hati, bahkan lebih pada tingkatan curhat (curahan hati), yang bermuara pada kesamaan konsep, persepsi, dan membangun paradigma baru. Tanpa sirih-pinang, pembicaraan melebar dan tak bertepi. Membias dan bisa membuas.
Menguyah sirih-pinang, bagi masyarakat kecil, di kampung-kampung, di pelosok atau yang terisolir, itu wajar. Tapi bagi seorang pemimpin, apalagi pemimpin (politisi) yang masih muda, mengunyah sirih-pinang itu merupakan hal yang tidak lazim. Jauh dari biasanya. Dan itu dibuat calon Bupati Louis Lucky Taolin atau Kim Taolin dan Eduardus Bere Atok (Edu Bere Atok).
Dalam setiap kesempatan bertemu dan bersama masyarakat, Kim Taolin (KITA) dan Edu Bere Atok (EBA) selalu mengunyah sirih-pinang. Kedua figur sederhana ini melihat sirih-pinang menjadi simbol komunikasi, simbol cinta dan persatuan (menyatu dengan masyarakat).
Siapa saja yang bertemu dengan Kim ataupun Edu, tidak perlu heran jika gigi kedua figur itu warnanya sedikit berbeda dengan orang muda atau politisi lainnya.
“Saya nyaman saja. Sirih pinang ini sebagai alat komunikasi, sebagai jembatan komunikasi. Kita tahu bahwa, setiap kali ada hajatan, ada undangan, yang disediakan itu sirih pinang,” jelas Kim Taolin.
Bagi Kim Taolin, sirih-pinang sudah menjadi makanan sehari-hari. Tanpa sirih-pinang hidup terasa hampa, kosong.
“Ketika mereka sodorkan sirih pinang, kalau kita belum makan sirih pinang, mereka (masyarakat) belum bisa sampaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Sehingga sudah terbiasa dengan hal-hal seperti begitu. Jadi istilahnya dia (sirih-pinang) alat komunikasi. Jadi bagaimana kita tidak makan sirih-pinang? Alat komunikasinya mau jalan bagaimana?” tambah Kim Taolin.
Baca Juga:
Hal serupa dilakukan Eduardus Bere Atok. Dalam setiap kesempatan bertemu warga, Edu pasti mengunyah sirih-pinang. Tidak ada kata ‘nonton’. Dan itu tidak dibuat saat beliau dipinang Kim Taolin sebagai wakilnya untuk maju dalam perhelatan politik pilkada Malaka 2024. Sejak jadi camat Malaka Tengah pun, Edu sudah terbiasa dengan menguyah sirih-pinang.
“Budaya orang Malaka itu kan sebelum membahas sesuatu ya makan sirih-pinang. Budaya ‘lalok’ (suguhan). Jadi entah dengan sirih-pinang atau rokok pun kita saling menghormati lewat itu dulu. Setelah itu baru kita kemukakan kita punya maksud, atau tujuan kehadiran kita bersama di situ untuk apa,” ujar Edu pada suatu acara di Betun.
Edu paham benar apa yang sudah menjadi warisan leluhur orang Malaka harus terus diwariskan dan dihidupkan. Dengan makan sirih-pinang saat duduk bersama, perbedaan berubah menjadi satu cita-cita bersama. Tak ada jarak dan jurang pemisah antar-kalangan. Semua sama.
“Ini tradisi. Tradisi orang Malaka. Budayanya begitu. Jadi tidak ada komunikasi lanjutan kalau seandainya sirih pinangnya tidak disuguhkan atau tidak dimakan. Simbol persatuan, simbol perdamaian,” jelas Edu.
Sirih-pinang tanda persatuan. Bukti nyata dari budaya orang Malaka. Dari yang sebelumnya terasa asing berubah menjadi sahabat, keluarga dan keberadaan seseorang pun dapat diterima dengan senang hati.
“Kalau seandainya orang sajikan sirih pinang kita tidak makan, itu tandanya bahwa kita tidak menyukai orang itu.
Dan kita punya sirih pinang juga orang tidak makan, itu tandanya bahwa kehadiran kita tidak disenangi,” kata Edu.
*Yosman Seran – Penulis buku puisi Homo Viator*.